Kerja Untuk Allah
Pernahkah
Anda bertanya atau ditanya :”Apa pekerjaan Nabi sebagai Kepala Keluarga ?” .
Tentu kita akan berfikir linear tentang keadaan Nabi dalam menjalani kehidupan beserta anak istri Beliau. Bagaimana kebutuhan dapur keluarganya ?
Bagaimana anak anaknya jajan atau beli pakaian ? Bagaimana anak istrinya berbelanja ? Dan banyak pertanyaan lainnya yang akan membawa pikiran
kita untuk mencari tahu dari sirah Nabi.
Jika Anda bertanya atau ditanya seperti pertanyaan di atas, tak perlu mencari referensi atau literatiur dari sirah Nabi dan mencari ‘apa pekerjaan Nabi ?’. Dan saya hendak memberitahukan pada Anda bahwa pertanyaan seperti di atas biasa dilontarkan oleh Kelompok manusia yang membenci Nabi dengan cara mendiskreditkan Nabi.
Sangat gampang menjawab pertanyaan seperti di atas. Tak perlu jauh jauh melayangkan pikiran kita ke zaman Nabi dulu. Cukup lihat di zaman Anda sekarang ini hidup. Lihatlah sekeliling Anda dan temukan orang sholeh yang selalu mengajak ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’.
Saya menemukan orang dan sekelompok orang yang tidak melakukan pekerjaan (mata pencaharian) seperti halnya Anda bekerja mencari ma’isyah. Dan mereka hidup dengan makmur sejahtera. Bahkan dari satu orang yang pernah aku temui, seseorang pernah bilang “Bekerjalah untuk Allah”.
Aneh ?
Anda tak perlu membantah dengan mengatakan ‘imposible’ atau ‘mustahil’ atau ‘irasional’ dengan keadaan seperti itu.
Jika Anda bertanya atau ditanya seperti pertanyaan di atas, tak perlu mencari referensi atau literatiur dari sirah Nabi dan mencari ‘apa pekerjaan Nabi ?’. Dan saya hendak memberitahukan pada Anda bahwa pertanyaan seperti di atas biasa dilontarkan oleh Kelompok manusia yang membenci Nabi dengan cara mendiskreditkan Nabi.
Sangat gampang menjawab pertanyaan seperti di atas. Tak perlu jauh jauh melayangkan pikiran kita ke zaman Nabi dulu. Cukup lihat di zaman Anda sekarang ini hidup. Lihatlah sekeliling Anda dan temukan orang sholeh yang selalu mengajak ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’.
Saya menemukan orang dan sekelompok orang yang tidak melakukan pekerjaan (mata pencaharian) seperti halnya Anda bekerja mencari ma’isyah. Dan mereka hidup dengan makmur sejahtera. Bahkan dari satu orang yang pernah aku temui, seseorang pernah bilang “Bekerjalah untuk Allah”.
Aneh ?
Anda tak perlu membantah dengan mengatakan ‘imposible’ atau ‘mustahil’ atau ‘irasional’ dengan keadaan seperti itu.
“Kerja Untuk Allah”
Nasehat seorang Arif di atas dapat dipahami dengan perspektif yang berbeda. Tetapi ada satu tujuan yang harus dipegang erat erat dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena walau bagaimanapun Perintah Allah untuk manusia hidup di dunia ini adalah :
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢
Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam
( QS Al An;am :6)
***
Bagi orang awwam, orang hidup di dunia harus bekerja mencari ma’isyah (mata pencaharian) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Pemahaman mereka adalah bebas bekerja apapun asalkan tidak melupakan hasil pekerjaan itu untuk memenuhi perintah Allah. Tidak lupa infaq, zakat atau ongkos umroh/ hajji. Bukankah Ibadah Hajji yang termasuk Rukun Islam harus memakai ongkos yang berarti harus dicari ?
Orang Awwam yang saya maksudkan di sini adalah bukan orang yang tidak belajar di sekolah atau di pesantren. Saya mendefinisikan orang awwam di sini adalah siapa saja dari mulai Kyai, Sarjana, Profesor hingga orang gembel yang tidak mampu berhubungan langsung dengan Allah. Tidak mampu mendengar perintah Allah. Tidak mampu berdialog dengan Allah. Mereka saya anggap “Awwam”.
Orang awwam akan memahami ayat itu bukan sebagai larangan manusia untuk mencari ma’isyah atau mata pencaharian. Tetapi sebagai bentuk pengabdian global dari seluruh aktivitas manusia selama hidup di dunia. Selama Pekerjaan yang digelutinya halal dan hasil yang didapat juga dengan cara halal serta membelanjakannya di jalan Allah, maka kriteria tersebut sudah terpenuhi.
Berbeda halnya dengan Orang Khash. Mereka tidak mau disibukkan dengan pekerjaan mencari ma’isyah yang dianggap kegiatan penting bagi orang awwam. Orang Khash memahami QS 6 :162 dengan total. Mereka bekerja (melakukan aktivitas) sehari hari mengikuti petunjuk Allah dan perintahNya. Pemahaman yang tidak dibarengi dengan akal akalan. Pemahaman yang timbul dari hati (fuad) dan bukan dari aql. Dan golongan manusia ini tidak pernah menghubung- hubungkan antara rizqi dengan pekerjaan (Kasab).
Rizqi adalah urusan Allah dan TIDAK DIPENGARUHI oleh makhluq. Sedangkan aktivitas / amaliyah selalu diperintahkan untuk beramal sholeh.
***
Di posisi mana kita berpihak, maka hendaklah kita memahami diri kita. Karena walau bagaimanapun jumlah orang awwam LEBIH BANYAK dari orang Khash, tentu pemahaman seperti orang khash akan banyak ditentang oleh orang banyak.
Pernah di satu Pengguron, ada nasehat bahwa hendaknya Para Santri bekerja untuk Allah. Dan pada saat itu seluruh siswa yang dinasehatinya diarahkan untuk tidak melakukan pekerjaan mencari ma’isyah. Seluruh santri dikumpulkannya dan diperintah fokus beribadah kepada Allah dengan mengharap keridlaan dari Allah.
Tentu, jika Anda melihat pemandangan seperti itu, mungkin Anda akan berfikir “Bagaimana mungkin mereka dapat melangsungkan kehidupan jika hanya berdiam diri saja (tidak kasab) padahal mereka masih berada di level maqam Kasab?”. Pertanyaan wajar bagi orang yang tidak berada dalam proses ta’alum (thalabul ilmi). Tapi bagi orang yang berada dalam Thalabul Ilmi, mereka akan mendapatkan kesempatan yang penuh dan agar mengabaikan segala bentuk rintangan rutin yang seringkali menghambat perjalanan manusia untuk wusul kepada Allah.
Ingat ‼! jika Iblis gagal membuat anda jadi manusia terburuk, maka Iblis akan berusaha menjadikan Anda sebagai manusia yang merasa paling baik. Dan Anda akan memandang menafkahi keluarga sebagai bentuk ibadah (kebaikan) yang akan mendapatkan pahala. Sehingga penggunaan harta untuk belanja akan terkonsentrasi pada kebutuhan keluarga atas nama sebagai “ibadah" (Nafqah). Padahal….Dari celah inilah banyak manusia yang terjebak dan terpuruk dengan berlupa diri karena pembenaran demi pembenaran yang selalu direkayasa oleh akal fikir dengan bantuan tiupan Iblis yang selalu mengintai manusia.
***
Bagi orang awwam, orang hidup di dunia harus bekerja mencari ma’isyah (mata pencaharian) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Pemahaman mereka adalah bebas bekerja apapun asalkan tidak melupakan hasil pekerjaan itu untuk memenuhi perintah Allah. Tidak lupa infaq, zakat atau ongkos umroh/ hajji. Bukankah Ibadah Hajji yang termasuk Rukun Islam harus memakai ongkos yang berarti harus dicari ?
Orang Awwam yang saya maksudkan di sini adalah bukan orang yang tidak belajar di sekolah atau di pesantren. Saya mendefinisikan orang awwam di sini adalah siapa saja dari mulai Kyai, Sarjana, Profesor hingga orang gembel yang tidak mampu berhubungan langsung dengan Allah. Tidak mampu mendengar perintah Allah. Tidak mampu berdialog dengan Allah. Mereka saya anggap “Awwam”.
Orang awwam akan memahami ayat itu bukan sebagai larangan manusia untuk mencari ma’isyah atau mata pencaharian. Tetapi sebagai bentuk pengabdian global dari seluruh aktivitas manusia selama hidup di dunia. Selama Pekerjaan yang digelutinya halal dan hasil yang didapat juga dengan cara halal serta membelanjakannya di jalan Allah, maka kriteria tersebut sudah terpenuhi.
Berbeda halnya dengan Orang Khash. Mereka tidak mau disibukkan dengan pekerjaan mencari ma’isyah yang dianggap kegiatan penting bagi orang awwam. Orang Khash memahami QS 6 :162 dengan total. Mereka bekerja (melakukan aktivitas) sehari hari mengikuti petunjuk Allah dan perintahNya. Pemahaman yang tidak dibarengi dengan akal akalan. Pemahaman yang timbul dari hati (fuad) dan bukan dari aql. Dan golongan manusia ini tidak pernah menghubung- hubungkan antara rizqi dengan pekerjaan (Kasab).
Rizqi adalah urusan Allah dan TIDAK DIPENGARUHI oleh makhluq. Sedangkan aktivitas / amaliyah selalu diperintahkan untuk beramal sholeh.
***
Di posisi mana kita berpihak, maka hendaklah kita memahami diri kita. Karena walau bagaimanapun jumlah orang awwam LEBIH BANYAK dari orang Khash, tentu pemahaman seperti orang khash akan banyak ditentang oleh orang banyak.
Pernah di satu Pengguron, ada nasehat bahwa hendaknya Para Santri bekerja untuk Allah. Dan pada saat itu seluruh siswa yang dinasehatinya diarahkan untuk tidak melakukan pekerjaan mencari ma’isyah. Seluruh santri dikumpulkannya dan diperintah fokus beribadah kepada Allah dengan mengharap keridlaan dari Allah.
Tentu, jika Anda melihat pemandangan seperti itu, mungkin Anda akan berfikir “Bagaimana mungkin mereka dapat melangsungkan kehidupan jika hanya berdiam diri saja (tidak kasab) padahal mereka masih berada di level maqam Kasab?”. Pertanyaan wajar bagi orang yang tidak berada dalam proses ta’alum (thalabul ilmi). Tapi bagi orang yang berada dalam Thalabul Ilmi, mereka akan mendapatkan kesempatan yang penuh dan agar mengabaikan segala bentuk rintangan rutin yang seringkali menghambat perjalanan manusia untuk wusul kepada Allah.
Ingat ‼! jika Iblis gagal membuat anda jadi manusia terburuk, maka Iblis akan berusaha menjadikan Anda sebagai manusia yang merasa paling baik. Dan Anda akan memandang menafkahi keluarga sebagai bentuk ibadah (kebaikan) yang akan mendapatkan pahala. Sehingga penggunaan harta untuk belanja akan terkonsentrasi pada kebutuhan keluarga atas nama sebagai “ibadah" (Nafqah). Padahal….Dari celah inilah banyak manusia yang terjebak dan terpuruk dengan berlupa diri karena pembenaran demi pembenaran yang selalu direkayasa oleh akal fikir dengan bantuan tiupan Iblis yang selalu mengintai manusia.
***
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا
٢
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar
وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن
يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ
قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu
( QS Ath Thalaq : 2-3 )
Sama dengan pemahaman QS 6 : 162 , dua ayat tersebut di atas akan dipahami dengan dua pemahaman. Dan tentu berbeda perspektif antara orang awwam dengan orang khash.
Karena itulah pertanyaan “Apa mata-pencaharian Nabi ketika hidup dulu?” adalah “Di bagian mana dari Ayat Al Quran yang memerintahkan manusia untuk melakukan kasab?”. "Di bagian mana manusia diperintahkan sibuk (istighal) dengan urusan ma’isyah?”.
والله اعلم بالصواب