Talqin, Tahlil dan Hawl
(Status hadits sangat lemah, diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai Ibnu Majah, Ahmad dll dari jalur Ibnul Mubarok dari Abu Utsman dari ayahnya dari Ma’qil bin al Yasar. Abu Utsman dan ayahnya adalah dua perawi yang majhul alias tidak dikenal identitasnya sebagaimana penjelasan adz Dzahabi dalam al Mizan. Jadi sanad hadits di atas adalah ‘gelap’ sehingga tidak bisa menjadi dasar beramal. Tidak ada satu pun hadits shahih mengenai membaca surat Yasin sebagaimana kesimpulan Daruquthni. Yang benar dan sesuai dengan sunnah Nabi adalah menalqin orang yang hendak meninggal dunia dengan kalimat la ilaha illallahu. Jika orang yang ditalqin itu sudah mengucapkannya maka kita diam. Jika orang tersebut mengucapkan kata kata lainnya maka ketika itu kita kembali menalqinnya dengan la ilaha illallahu. Jadi kita berupaya agar perkataan terakhir yang dia ucapkan sebelum meninggalkan dunia adalah la ilaha illallahu
Acara ini juga sangat erat dihubung-hubungkan dengan pengertian TAWASUL yang dianggapnya sama dengan mengirim doa atau pahala dari doa pada si Ahli Qubur. Atau juga ada yang mengatakan sebagai HADIAH (doa) .
Bagi yang kontra, acara tahlilan pada kematian dianggap sebagai warisan budaya Hindu yang tersisa di tengah Kaum Muslimin Indonesia atau bisa disebut sebagai warisan budaya.
III.
Pada artikel ini, saya tidak berminat menyajikan tentang asal usul kapan mulai ada TAHLILAN. Tapi kita akan melihat dari acuan yang menjadi dasar pedoman Ummat Islam ( Al Quran dan Al Hadits atau Al Atsar).
Talqin bisa diartikan “MENGAJARI atau MEMBERI PEMAHAMAN”. Dan dari berbagai dalil talqin dan tahlil adalah satu pernyataan yang runut. Artinya yang dimaksud dengan TALQIN adalah MENGAJARI TAHLIL ( mengajari orang mengucapkan لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ sebelum meninggal). Sedangkan praktek di tengah masyarakat Indonesia, orang menalqin itu adalah membaca tahlil pada si mayat yang sudah meninggal. Jadi BERBEDA banget praktek dari dalil di atas.
Dari makna dan kontek hadits yang sudah disebutkan di atas, jika dibandingkan dengan praktek di tengah masyyarakat tentu akan terlihat perbedaan yang mendasar. Mengajari sebelum meninggal bertujuan mengajak bertaubat. Dan menalqin sesudah meninggal mungkin bertujuan mengirim pahala atau agar bisa menjawab pertanyaan di alam kubur. (Mungkin).
IV.
Yang lebih parah lagi, jika berkumpul di tengah Keluarga yang lagi ditimpa musibah kematian lalu di situ ada “selamatan kematian” dengan acara makan makan atau jamuan. Ini benar benar TIDAK DICONTOHKAN NABI SAW DAN PARA SAHABATNYA. Satupun tidak ada dalil yang membenarkannya.
I.
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ (
رواه مسلم (
Dari
Abu Said Al Khudry : Nabi saw bersabda : TALQINLAH (Ajarkanlah) di antara
kalian yang hendak meninggal dengan Kalimat Tawhid
(TAHLIL) لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
(HR Muslim)
(HR Muslim)
حديث: عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْرَءُوا يس عَلَى
مَوْتَاكُمْ ( رواه احمد وابو داود )
هذا حديث ضعيف جداً، أخرجه أبو داود والنسائي
وابن ماجه، وأحمد وغيرهم من طريق ابن المبارك عن أبي عثمان عن أبيه عن معقل بن
اليسار، وأبو عثمان وأبوه، كما قال الإمام الذهبي في الميزان، مجهولان، فهذا إسناد
مظلم، ولا يعمل به، وقراءتها لم يثبت فيها شيء، كما قال الإمام الدار قطني. لكن من
السنة أن نلقن الميت: "لا إله إلا الله" وهو يحتضر، فإن قالها نسكت
عليه، فإن تكلم بكلام غيرها، رجعنا ولقناه أن يقول: "لا إله إلا الله"،
فيكون حرصنا عليه أن نجعل آخر كلامه من الدنيا: "لا إله إلا الله".
Hadits : “ Bacakanlah pada
orang mati dengan surat Yaa siin !!!”
(Status hadits sangat lemah, diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai Ibnu Majah, Ahmad dll dari jalur Ibnul Mubarok dari Abu Utsman dari ayahnya dari Ma’qil bin al Yasar. Abu Utsman dan ayahnya adalah dua perawi yang majhul alias tidak dikenal identitasnya sebagaimana penjelasan adz Dzahabi dalam al Mizan. Jadi sanad hadits di atas adalah ‘gelap’ sehingga tidak bisa menjadi dasar beramal. Tidak ada satu pun hadits shahih mengenai membaca surat Yasin sebagaimana kesimpulan Daruquthni. Yang benar dan sesuai dengan sunnah Nabi adalah menalqin orang yang hendak meninggal dunia dengan kalimat la ilaha illallahu. Jika orang yang ditalqin itu sudah mengucapkannya maka kita diam. Jika orang tersebut mengucapkan kata kata lainnya maka ketika itu kita kembali menalqinnya dengan la ilaha illallahu. Jadi kita berupaya agar perkataan terakhir yang dia ucapkan sebelum meninggalkan dunia adalah la ilaha illallahu
Juga dinyatakan Dlaif oleh Imam An
Nawawi dalam “Al Adzkar” , oleh Ibnu Hajar dalam “At Takhlish” dinyatakan
periwayatnya (Abu Utsman dan Bapaknya) Tak Dikenal (majhul) dan Al Bany juga
menyatakan dlaif sebagaimana di dalam “As Silsilatidl Dlaifah
dan Irwa-ul Ghalil”)
II.
Tahlil itu berarti “membaca Laa Ilaaha Illallah “ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ “ berasal : هَلَّلَ - يُهَلِّلُ - تَهْلِيْلًا . Jadi membaca Tahlil itu baik dan banyak fadhilahnya.
Persoalannya adalah : Tahlil yang mengandung kebaikan tadi dijadikan acara seremonial pada peristiwa ketika ada orang yang sudah meninggal dunia lalu kumpul kumpul di rumahnya atau di tempat lain untuk dibacakan tahlilan tadi yang mungkin dimaksudkan agar pahalanya sampai si mayat tadi.
Prosesi ini menuai Pro dan Kontra. Yang pro secara umum mengikuti para sesepuh pendahulunya yang notabenenya dianggap sudah alim betul dalam masalah dalil. Dan yang kontra menganggap bahwa perbuatan itu tak punya dasar hukum sama sekali.
Dalam tulisan ini, kita tak membahas soal essensi dari tahlil. Tapi tentang kebiasaan orang yang tahlilan dan talqin pada orang yang SUDAH MENINGGAL.
Tahlil itu berarti “membaca Laa Ilaaha Illallah “ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ “ berasal : هَلَّلَ - يُهَلِّلُ - تَهْلِيْلًا . Jadi membaca Tahlil itu baik dan banyak fadhilahnya.
Persoalannya adalah : Tahlil yang mengandung kebaikan tadi dijadikan acara seremonial pada peristiwa ketika ada orang yang sudah meninggal dunia lalu kumpul kumpul di rumahnya atau di tempat lain untuk dibacakan tahlilan tadi yang mungkin dimaksudkan agar pahalanya sampai si mayat tadi.
Prosesi ini menuai Pro dan Kontra. Yang pro secara umum mengikuti para sesepuh pendahulunya yang notabenenya dianggap sudah alim betul dalam masalah dalil. Dan yang kontra menganggap bahwa perbuatan itu tak punya dasar hukum sama sekali.
Dalam tulisan ini, kita tak membahas soal essensi dari tahlil. Tapi tentang kebiasaan orang yang tahlilan dan talqin pada orang yang SUDAH MENINGGAL.
Dari dalil dalil mengenai tahlilan
atau talqin ataupun acara seremonial lain pada Ahli Qubur, ternyata :
1. Ada talqin (pengajaran) pada
seseorang saat SEBELUM meninggal
dunia. Bukan setelah meninggal.
2. Membacakan Surat Yaasiin pada
orang yang sudah meninggal tak pernah ada dalilnya ( Mungkin saudara bisa mendapatkannya. )
Acara ini juga sangat erat dihubung-hubungkan dengan pengertian TAWASUL yang dianggapnya sama dengan mengirim doa atau pahala dari doa pada si Ahli Qubur. Atau juga ada yang mengatakan sebagai HADIAH (doa) .
Bagi yang kontra, acara tahlilan pada kematian dianggap sebagai warisan budaya Hindu yang tersisa di tengah Kaum Muslimin Indonesia atau bisa disebut sebagai warisan budaya.
III.
Pada artikel ini, saya tidak berminat menyajikan tentang asal usul kapan mulai ada TAHLILAN. Tapi kita akan melihat dari acuan yang menjadi dasar pedoman Ummat Islam ( Al Quran dan Al Hadits atau Al Atsar).
Talqin bisa diartikan “MENGAJARI atau MEMBERI PEMAHAMAN”. Dan dari berbagai dalil talqin dan tahlil adalah satu pernyataan yang runut. Artinya yang dimaksud dengan TALQIN adalah MENGAJARI TAHLIL ( mengajari orang mengucapkan لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ sebelum meninggal). Sedangkan praktek di tengah masyarakat Indonesia, orang menalqin itu adalah membaca tahlil pada si mayat yang sudah meninggal. Jadi BERBEDA banget praktek dari dalil di atas.
Dari makna dan kontek hadits yang sudah disebutkan di atas, jika dibandingkan dengan praktek di tengah masyyarakat tentu akan terlihat perbedaan yang mendasar. Mengajari sebelum meninggal bertujuan mengajak bertaubat. Dan menalqin sesudah meninggal mungkin bertujuan mengirim pahala atau agar bisa menjawab pertanyaan di alam kubur. (Mungkin).
IV.
Yang lebih parah lagi, jika berkumpul di tengah Keluarga yang lagi ditimpa musibah kematian lalu di situ ada “selamatan kematian” dengan acara makan makan atau jamuan. Ini benar benar TIDAK DICONTOHKAN NABI SAW DAN PARA SAHABATNYA. Satupun tidak ada dalil yang membenarkannya.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ
اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ
مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami
(para shahabat) menganggapberkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah
penguburannyatermasuk daripada meratap”
(HR. Ahmad).
Dari hari pertama hingga nujuh hari (sepekan setalah
kematian) disambung hingga matangpuluh (40 hari setelah kematian) dan
dirutinkan tiap temu tahun (Hawlan) semuanya TIDAK PUNYA DASAR DALIL.
Tapi
kenapa kok jadi mentradisi ?
Sekali
lagi, tak perlu lagi kita menengok tentang asal usulnya. Secara peribadi, saya
lebih suka berargumen pada QS 5:104, yaitu KEUKEUH PADA WARISAN NENEK MOYANG.
Dan terhadap golongan ini yang paling berat dalam menyampaikan risalah Nabi
saw.
Jika
Ahli dari mayat yang ditinggalkan masih termasuk mampu saja dilarang, apalagi
jika keluarga yang ditinggalkannya termasuk Yatim/ Piatu, ini tentu bertambah
keingkarannya.
Biasanya
golongan yang bandel itu bukan tidak tahu dalil dalil yang melarang orang berpesta di
Keluarga Shahibul Mushibah, tapi mereka malah helah (mencari pembenaran).
Seolah apa yang mereka lakukan adalah bagian kebaikan dari keluarga si Shahibul
Mushibah. Seolah menjadi sedekah bagi Keluarga untuk dihadiahkan pada si orang
yang meninggal tadi.
V.
Membaca
tahlil secara murni dan mengikuti dalil, tentu banyak fadhilahnya. Asalkan
BUKAN SEREMONIAL SELAMETAN (kendurian) di keluarga Shahibul Sebagaimana sabda Nabi :
افضل الذكر
فاعلم أنه لا إله إلا الله
Dzikir yang paling utama adalah لا إله إلا الله
والله أعلم
بالصواب