Tuhan Itu Satu
وَإِلَٰهُكُمۡ
إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٣
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan
Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
(QS Al Baqarah : 163)
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ
أَحَدٌ ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia"
(QS Al Ikhlash : 1 – 4)
***
Tuhan itu satu. Allah itu satu. Ini sudah qath’i. Dalam ajaran yang
dianut manusia di dunia ini, hanya Islam yang bisa diterima dengan nalar yang
sehat dan tidak mengundang tanda tanya di setiap penganutnya.
Lalu, bagaimana ummat lain menjelaskan tentang TUHAN ITU SATU sedangkan mereka sesungguhnya bertuhan banyak (walaupun tidak pernah mengakuinya di publik), ini persoaan yang ribet dan tak masuk akal.
Budaya bangsa Indonesia yang mendasari untuk mengajak ke ‘Jalan Benar’ melahirkan ideologi bangsa Pancasila yang diawali dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pertanyaan yang paling mendasar jika kita memperhatikan sila ke-1, apa sih makna “Esa” itu “ ? Apakah “Esa” itu “Satu” ataukah “Satu Kesatuan” ?.
Sebut saja, ada yang orang memaknai “ESA” itu dengan “Kemanunggalangan” yang berarti “Satu Kesatuan dari Sejumlah Oknum”, tetapi mereka selalu menampik pemahaman seperti itu dalam retorikanya walaupun mereka tak punya argumen yang memadai. (https://kbbi.web.id/esa). Trinitas ataupun Tritunggal adalah satu contoh dogma yang membingungkan ummat.
Sesungguhnya untuk menunjukkan Satu dan Kemanunggalangan (Satu Kesatuan), Bahasa Sansekerta punya kosakata tersendiri. Dalam bahasa Sansekerta, Kemanunggalangan dinyatakan dengan “EKA” (https://kbbi.web.id/eka-)
Lalu, bagaimana ummat lain menjelaskan tentang TUHAN ITU SATU sedangkan mereka sesungguhnya bertuhan banyak (walaupun tidak pernah mengakuinya di publik), ini persoaan yang ribet dan tak masuk akal.
Budaya bangsa Indonesia yang mendasari untuk mengajak ke ‘Jalan Benar’ melahirkan ideologi bangsa Pancasila yang diawali dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pertanyaan yang paling mendasar jika kita memperhatikan sila ke-1, apa sih makna “Esa” itu “ ? Apakah “Esa” itu “Satu” ataukah “Satu Kesatuan” ?.
Sebut saja, ada yang orang memaknai “ESA” itu dengan “Kemanunggalangan” yang berarti “Satu Kesatuan dari Sejumlah Oknum”, tetapi mereka selalu menampik pemahaman seperti itu dalam retorikanya walaupun mereka tak punya argumen yang memadai. (https://kbbi.web.id/esa). Trinitas ataupun Tritunggal adalah satu contoh dogma yang membingungkan ummat.
Sesungguhnya untuk menunjukkan Satu dan Kemanunggalangan (Satu Kesatuan), Bahasa Sansekerta punya kosakata tersendiri. Dalam bahasa Sansekerta, Kemanunggalangan dinyatakan dengan “EKA” (https://kbbi.web.id/eka-)
Langit itu satu.
Bumi jug satu.
Jadi bagaimana mungkin Tuhan lebih dari satu ?
Islam memandang Tuhan Berfirman, Tuhan Pencipta Tuhan Raja, Pengasih, Penyayang bukanlah menunjukkan banyak tuhan. Tetap Tuhan itu satu dengan beberapa sifatNya (Asmaul Husna). Jadi….bukan lantas karena berfirman lalu disebut Tuhan Fulan atau karena menolong lalu disebut Tuhan Fulan. Ini pemahaman yang salah.
Islam memandang Tuhan Berfirman, Tuhan Pencipta Tuhan Raja, Pengasih, Penyayang bukanlah menunjukkan banyak tuhan. Tetap Tuhan itu satu dengan beberapa sifatNya (Asmaul Husna). Jadi….bukan lantas karena berfirman lalu disebut Tuhan Fulan atau karena menolong lalu disebut Tuhan Fulan. Ini pemahaman yang salah.
Jhon adalah seorang lelaki
Jhon bekerja sebagai Supir Ojek
Jhon juga sebagai Kepala Keluarga
Si Jhon tetap satu. sebagai lelaki, sopir ojek atau kepala keluarga
adalah sebagai “sifat”Jhon. Bukan juga menunjukkann “satu kesatuan oknum”
***
Ada juga yang membuat saya tertawa dengan argumen yang mengatakan
Orang Islam tidak mengenal Tuhannya. Tidak seperti ajaran agama lain yang
menyatakan kenal dengan Tuhannya hanya karena ada cerita panca indera bisa melihat dan ngobrol bareng sama manusia yang dianggap sebagai tuhan. Anak dari siapa dan dari
bangsa mana. Sungguh terlalu dangkal cara berfikir seperti itu.
Ngawur bangetttt‼!.
Saya kasih tahu, bahwa di kampungku ada tambak udang yang tenaga
ahlinya banyak didatangkan dari Sarjana Sekolah Ternama di bidang zoologi. Dan
mereka menyelesaikan studi untuk meraih gelar sarjana perikanan minimal butuh waktu 4
tahun. Anda tahu….untuk mempelajari badan udang yang kecil segitu saja, Orang
butuh waktu 4 tahun ?. Itupun tidak serta merta mereka tahu secara keseluruhan
tentang udang.
Jadi, berhentilah jika Anda beranggapan Orang Islam tak mengenal
Tuhan hanya karena tidak mampu Panca Indera menjangkauNya. Jangankan melihat tuhan, umur diri sendiri
saja tidak tahu, kok merasa tahu dan mengenal Tuhan ?.
Catat baik baik ‼!. Terlihatnya sosok manusia yang dilantik sebagai
Tuhan menunjukkan betapa mustahil. Jika Anda melihat sosok / apapun / siapapun
yang dapat dijangkau dengan mata dan telingamu, itu menunjukkan Obyek bisa dibatasi
oleh ruang.
Tuhan tidak dibatasi ruang
dan waktu
Tuhan tidak bersukutu dengan makhluqNya. Tuhan tidak menjadi manuisa dan Manusia tak menjadi Tuhan. Tuhan tak terimbasi apapun oleh perbuatan makhluqNya.
Seberapapun makhluq Tuhan yang paling kuat dan digdaya , tetaplah TAK BERDAYA di hadapan Tuhan.
Tidak ada manusia yang sebentar disebut Tuhan 100%. Sebentar disebut manusia 100%. Sebentar jadi Tuhan 100%. Dan begitu seterusnya. Bolak Balik gak karuan. Ini logika cacat. Ini Agama Cacat.
Jika ada tuhan yang “memanusiakan” diri menjadi manusia. di mana kemanusiaan orang itu di saat orang menyebutnya sebagai Tuhan ?. Pada saat sebagai manusia 100%, tentu si oknum tersebut punya “Tanggung Jawab” sebagai manusia di hadapan Tuhannya. Tetapi jika disebut jadi “tuhan 100%”, apakah tanggung jawab dari si oknum itu sebagai manusia terhenti atau tiada ?.
Memaksakan diri untuk beriman walau akal fikir jadi rusak adalah kesesatan yang menyesatkan. Disuruh percaya (mengimani) pada khayalan manusia yang irasional dan kebuntuan akal adalah tindakan bodoh.
Sekali lagi, Socrates sebelum meninggal berpesan terhadap murid2nya agar nanti ketika mati jangan dikubur. Dia berpesan seperti itu karena sebagai filosof besar, ia tak sampai bisa mengenal dirinya. Lalu bagaimana bisa, sekelompok manusia merasa mengenal Tuhan hanya karena Tuhan yang mereka banggakan itu dari golongan manusia ?
Apakah karena orang itu bisa menghidupkan orang mati sebagai kemukjizatannya lantas disebut tuhan ? Apakah karena bisa menyembuhkan penyakit kronis lantas orang itu disebut tuhan ?. Jika iya, maka akan banyak tuhan tambahan. Karena banyak yang manusia yang diberikan kelebihan untuk menghidupkan makhluq yang sudah mati hidup lagi.
Lalu, apa sih sesungguhnya yang ada di akal fikir mereka sampai manusia kok dijadikan tuhan?. Sehingga ketika harus memaksakan ajarannya agar sesuai dengan “Yang Maha Esa”, maka dicarilah argumen argumen kontradiktif.
Tidak ada manusia yang sebentar disebut Tuhan 100%. Sebentar disebut manusia 100%. Sebentar jadi Tuhan 100%. Dan begitu seterusnya. Bolak Balik gak karuan. Ini logika cacat. Ini Agama Cacat.
Jika ada tuhan yang “memanusiakan” diri menjadi manusia. di mana kemanusiaan orang itu di saat orang menyebutnya sebagai Tuhan ?. Pada saat sebagai manusia 100%, tentu si oknum tersebut punya “Tanggung Jawab” sebagai manusia di hadapan Tuhannya. Tetapi jika disebut jadi “tuhan 100%”, apakah tanggung jawab dari si oknum itu sebagai manusia terhenti atau tiada ?.
Memaksakan diri untuk beriman walau akal fikir jadi rusak adalah kesesatan yang menyesatkan. Disuruh percaya (mengimani) pada khayalan manusia yang irasional dan kebuntuan akal adalah tindakan bodoh.
Sekali lagi, Socrates sebelum meninggal berpesan terhadap murid2nya agar nanti ketika mati jangan dikubur. Dia berpesan seperti itu karena sebagai filosof besar, ia tak sampai bisa mengenal dirinya. Lalu bagaimana bisa, sekelompok manusia merasa mengenal Tuhan hanya karena Tuhan yang mereka banggakan itu dari golongan manusia ?
Apakah karena orang itu bisa menghidupkan orang mati sebagai kemukjizatannya lantas disebut tuhan ? Apakah karena bisa menyembuhkan penyakit kronis lantas orang itu disebut tuhan ?. Jika iya, maka akan banyak tuhan tambahan. Karena banyak yang manusia yang diberikan kelebihan untuk menghidupkan makhluq yang sudah mati hidup lagi.
Lalu, apa sih sesungguhnya yang ada di akal fikir mereka sampai manusia kok dijadikan tuhan?. Sehingga ketika harus memaksakan ajarannya agar sesuai dengan “Yang Maha Esa”, maka dicarilah argumen argumen kontradiktif.